15 Februari 2008

Menggenapi 99 Nama Allah


Serambi, 5-November-2007

Sumber: Jawa Pos

Alkisah, suatu saat ada seseorang yang datang ke Abu Yazid al-Busthami dengan membawa sebuah pertanyaan yang secara spiritual begitu signifikan: "Guru, ajarkanlah kepadaku ismullah al-a’zham yang sangat ampuh itu, sehingga kalau aku berdoa dengannya, maka segala permohonanku akan terkabul."

Waktu itu,
sufi agung kelahiran Bustham tersebut sedang menggendong seorang bayi. Dihadapkan kepada pertanyaan itu, dia hanya diam saja. Akan tetapi, dengan izin dan amr dari Allah, si bayi itu berujar memberikan jawaban sembari memegang jenggot Abu Yazid: "Ini lho, pemilik jenggot inilah ismullah al-a’zham. Berdoalah dengan perantara orang ini, maka doamu seketika akan di-ijabah-i oleh Allah."

Apakah ismullah al-a’zham itu? Ia adalah nama Allah yang keseratus sebagai penyempurna dari 99 nama-Nya. Dalam istilah Pak Muh --panggilan Muhammad Zuhri, penulis buku ini-- itulah Sebutir Mata Tasbih yang lepas dari untaiannya (hlm. 20).

Ungkapan sufistik Pak Muh di atas itu bisa dimaknai dengan (minimal) dua perspektif. Pertama, idiom lepas dalam kalimatnya itu bisa diinterpretasikan dengan adanya ketidaksamaan jenis antara nama Allah yang keseratus dengan 99 nama sebelumnya. Artinya, kalau ke-99 nama Allah itu seluruhnya merupakan sebutan yang melekat pada hadirat-Nya, maka nama-Nya yang keseratus sama sekali bukanlah lafal dalam pemahamannya yang harfiyyah. Ia menunjuk kepada realitas spiritual. Itulah sebabnya mengapa dalam kisah di atas si bayi dalam gendongan itu langsung menyebut Abu Yazid sebagai ismullah al-a’zham.

Kedua, idiom lepas itu juga mengandaikan bahwa pada dasarnya manusia sebagai makhluk ruhani memiliki tempat yang mulia di antara jejeran nama-nama Allah yang 99. Akan tetapi, karena manusia mesti diuji oleh jarak dan kesetiaan, oleh bencana dan keberuntungan, oleh hidup dan kematian, maka manusia "sejenak" mesti ditakdirkan lepas atau "jauh" dari 99 untaian mata tasbih itu.

Lepasnya manusia untuk "sementara waktu" dari 99 untaian mata tasbih Ilahi itu sepenuhnya merupakan realisasi dari "rekayasa-Nya" semata. Dengan demikian dapat dibuktikan siapa di antara manusia yang sanggup menempati posisi azaliyah-nya yang mulia dan siapa pula yang memilih terjerembab ke dalam dengus nafsunya sendiri.

Agar sukses menempatkan diri pada posisi yang terhormat secara ruhani itu, siapa pun mesti menggunakan aset transendental yang berupa 99 nama Allah untuk senantiasa diproyeksikan ke dalam dirinya. Yakni, bagaimana karakter-karakter asmaul husna itu digumpalkan dengan keyakinan dan diejawantahkan dengan perilaku, baik dalam kehidupan vertikal maupun utamanya dalam kehidupan horizontal. Proses dan proyeksi suci inilah yang melandasi munculnya sabda Nabi Muhammad Saw kepada ummatnya: "Berakhlaklah kalian sebagaimana akhlak Allah."